4 Kesalahan yang Sering Ditemukan dalam Proses Asesmen

Asesmen merupakan sebuah proses multifungsi yang lekat dengan bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dan banyak diterapkan di berbagai organisasi. Dalam praktiknya, asesmen dilakukan untuk beragam tujuan, mulai dari perekrutan karyawan, penempatan di unit kerja tertentu, promosi jabatan, hingga program pengembangan talenta. Lebih jauh, asesmen menjadi krusial karena mendukung prinsip the right man on the right place yang bukan hanya berdampak pada efektivitas organisasi, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan.

Proses asesmen dapat sangat beragam bentuknya—sebagian lebih kompleks dengan berbagai tahapan, sebagian lainnya memiliki tahapan lebih sederhana. Namun, apa pun bentuknya, setiap prosedur asesmen harus dilakukan secara hati-hati dan mengacu pada standar yang berlaku. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi risiko subjektivitas atau bias pribadi, mengurangi kesalahan yang berasal dari manusia (human error), dan mencegah faktor lain yang dapat memengaruhi keakuratan hasil.

Sayangnya, dalam praktik sehari-hari masih banyak ditemukan kekeliruan. Kesalahan ini dapat menurunkan kualitas asesmen dan bahkan merugikan organisasi. Dalam artikel ini, kita akan membahas empat kesalahan umum dalam asesmen yang sering terjadi dan penjelasan mengapa hal tersebut perlu dihindari.

1. Observasi Tidak Konsisten dan Catatan Kurang Akurat

Dalam beberapa kasus, masih sering ditemukan assessor yang hanya mengandalkan deskripsi secara umum saat mencatat perilaku peserta. Padahal, tanpa observasi langsung yang ditulis dengan jelas, penilaian berisiko kurang akurat dan reliabilitasnya menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hasil asesmen akan lebih akurat jika penilaian dilakukan pada saat aktivitas atau sesi simulasi berlangsung, dibandingkan hanya dengan menggabungkan penilaian dari berbagai dimensi yang sifatnya abstrak.

Oleh karena itu, pencatatan perilaku yang rinci pada setiap sesi menjadi hal yang krusial. Jika catatan tidak konsisten atau terlalu umum, reliabilitas penilaian dapat menurun dan hasilnya rentan bias. Assessor perlu memastikan pencatatan observasi yang sistematis agar keputusan yang diambil benar-benar berbasis data yang valid.

2. Penilaian Dipengaruhi oleh Halo Effect

Halo effect merupakan bentuk bias yang muncul ketika kesan awal tentang seseorang memengaruhi penilaian aspek lainnya. Misalnya, jika seorang peserta asesmen terlihat percaya diri, assessor dapat tanpa sadar memberi nilai tinggi pada aspek komunikasi atau kepemimpinan, meski pada kenyataannya belum tentu demikian. Berbagai penelitian menunjukkan akibat bias ini hasil penilaian tidak lagi sepenuhnya mencerminkan kemampuan spesifik yang dinilai, melainkan dipengaruhi oleh kesan umum yang terbentuk sebelumnya.

Bias ini umumnya muncul karena instruksi penilaian yang kurang jelas, rubrik yang ambigu, bahkan dapat diperparah dengan tekanan waktu. Namun, bukan berarti halo effect tidak dapat diminimalisir. Dengan panduan yang lebih terstruktur dan kondisi penilaian yang mendukung, risiko halo effect dapat ditekan secara signifikan. Selain itu, melibatkan lebih dari satu assessor dengan penugasan peserta secara acak (random assignment) juga dapat membantu karena hasil penilaian dapat dibandingkan dengan rata-rata penilai lain.

3. Indikator Kompetensi Terlalu Abstrak

Dalam proses asesmen biasanya terdapat sejumlah kompetensi yang dinilai. Masalah muncul ketika kompetensi tersebut didefinisikan terlalu abstrak. Misalnya, kompetensi “leadership” dinilai tanpa indikator perilaku yang jelas. Kondisi ini menunjukkan celah di mana assessor dapat menafsirkan kompetensi secara berbeda-beda, sehingga hasil penilaian rentan tidak konsisten.

Agar indikator kompetensi benar-benar berguna dalam Assessment Center, setiap kompetensi perlu diterjemahkan ke dalam indikator perilaku operasional, yaitu perilaku nyata, spesifik, dan dapat diamati. Guidelines and Ethical Considerations for Assessment Center Operations merekomendasikan penggunaan alat bantu seperti check list perilaku atau rating scale berbasis perilaku untuk memastikan penilaian lebih objektif.

4. Proses Quality Assurance/Quality Control Lemah

Kesalahan lain yang kerap terjadi dalam asesmen adalah lemahnya proses pengecekan kualitas, seperti tidak adanya kalibrasi antar assessor atau review metodologi yang memadai. Padahal, proses Quality Assurance/Quality Control (QA/QC) berfungsi sebagai mekanisme penting untuk memastikan kualitas hasil asesmen. Tanpa QA/QC, penilaian rentan dipengaruhi oleh subjektivitas masing-masing assessor, sehingga hasil akhir dapat merugikan peserta maupun organisasi yang mengandalkan asesmen untuk pengambilan keputusan strategis.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa reliabilitas antar-penilai (inter-rater reliability) cenderung menurun bila tidak ada pelatihan dan kalibrasi rubrik yang konsisten. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan formal dan mekanisme pelatihan QA/QC rutin, organisasi dapat memastikan assessor memiliki standar yang sama. Dengan demikian, keputusan berbasis asesmen akan menjadi lebih objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dari berbagai kesalahan yang kerap terjadi dalam proses asesmen, terlihat jelas bahwa menjadi seorang assessor bukan sekadar bertugas menilai peserta, tetapi membutuhkan peningkatan kapasitas secara berkala. Hal ini penting agar proses asesmen lebih objektif, konsisten, dan menghasilkan keputusan yang adil bagi semua peserta. Untuk mendukung pengembangan kemampuan assessor, LPTUI kami menyelenggarakan Assessor Certification Program Level Intermediate. Kunjungi halaman ACP Intermediate untuk mendapatkan jadwal terbaru dan informasi pendaftaran selengkapnya.

Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor

Referensi:

Bechger, T. M., Maris, G., & Hsiao, Y. P. (2010). Detecting halo effects in performance-based examinations. Applied Psychological Measurement, 34(8), 607-619.

International Taskforce on Assessment Center Guidelines. (2015). Guidelines and ethical considerations for assessment center operations. Journal of Management, 41(4), 1244-1273.

Jackson, D. J., Michaelides, G., Dewberry, C., Nelson, J., & Stephens, C. (2022). Reliability in assessment centres depends on general and exercise performance, but not on dimensions. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 95(4), 739-757.

Saenz, D. A. (2023). Inter-Rater Reliability in Comprehensive Examination Scoring: The Case for Consistent and Collaborative Rater Training and Calibration. Online Submission.

Anda bisa membagikan artikel berikut kepada yang lain:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0

Keranjang Kamu Kosong

Tidak ada produk di keranjang Anda.