Review Series Netflix “Adolescence” dari Sudut Pandang Psikologi

Mendapatkan sorotan besar dari penonton Netflix belakangan ini, Adolescence merupakan serial pendek yang tak hanya menegangkan, tetapi juga menggugah secara emosional. Serial ini mengisahkan Jamie Miller, seorang remaja berusia 13 tahun yang ditangkap atas tuduhan membunuh teman perempuannya. Namun, alih-alih berkutat pada misteri ‘siapa pelaku sebenarnya’, serial ini justru menggiring penonton untuk merenung lebih dalam: Mengapa Jamie melakukan hal tersebut?

Melalui empat episode yang dikemas secara intens, serial Adolescence perlahan membuka lapisan-lapisan di balik tindakan Jamie—mulai dari dinamika keluarga, pengaruh media sosial dan pertemanan remaja, hingga luka emosional yang mendalam. Disampaikan melalui adegan kilas balik dan dialog interogasi yang mendalam, serial ini menawarkan banyak hal untuk dibedah, khususnya dari sudut pandang psikologi. Berikut enam pelajaran yang dapat kita petik dari serial ini:

Keluarga ‘Sempurna’ Belum Tentu Bahagia

Tidak ada pertengkaran hebat, apalagi kekerasan fisik, tapi bukan berarti sebuah keluarga dapat disebut ‘baik-baik saja’. Seringkali kita lupa bahwa luka juga dapat muncul dari sesuatu yang tak terlihat seperti pengabaian emosional. Ketika orang tua gagal hadir memberi kenyamanan saat anak merasa takut, bingung, atau tertekan, bekasnya dapat tinggal lama.

Di rumahnya, Jamie tidak memiliki diberikan ruang aman untuk mengakui perasaannya seperti “aku takut”, “aku sedih”, “aku kecewa”, dan sejenisnya. Jamie juga tidak terbiasa bercerita secara leluasa dengan keluarganya. Dalam adegan makan malam keluarga yang sunyi dan Jamie terlihat murung, ibunya hanya melemparkan tatapan singkat tanpa bertanya apa pun. Ayahnya tetap sibuk dengan koran atau ponselnya.

Tak ada afeksi dari sang ayah, tak ada kehangatan dari ibu, apalagi komunikasi emosional yang terbuka. Inilah yang kemudian menjadi salah satu inti dalam serial Adolescence, bahwa tindakan Jamie bukan muncul begitu saja, melainkan tumbuh dari kekosongan emosional yang lama tak tersentuh. 

Lesson learned: Keluarga bukan sekadar lengkap secara fisik, tapi penting juga untuk benar-benar ‘hadir’ secara emosional. Tanpa ruang aman untuk merasa dan berbicara, emosi yang terpendam bisa menjadi bom waktu.

Internet Aman dengan Batasan

Bagai pisau bermata dua, penggunaan media sosial dapat memberikan manfaat sekaligus risiko, terlebih jika anak belum dipersiapkan untuk menavigasi luasnya dunia digital. Algoritma media sosial memungkinkan anak menemukan konten-konten yang belum pernah dijangkau sebelumnya. Tanpa pendampingan orang tua, bukan tidak mungkin anak justru terpapar narasi berbahaya, komunitas toksik, hingga normalisasi kekerasan yang membentuk pola pikir dan perilaku mereka secara perlahan.

Dalam serial Adolescence, Jamie dapat mengakses internet di malam hari sendirian di kamarnya tanpa pengawasan orang tua. Tanpa disadari, ia terseret masuk ke dalam komunitas Incel (involuntary celibacy), sebuah kelompok daring yang sering menyebarkan narasi kebencian terhadap perempuan dan glorifikasi kekerasan. Di saat yang sama, Jamie juga menjadi korban cyberbullying, yang semakin memperkuat rasa marah dan keterasingannya. Semua ini memperkuat motif di balik tindakannya terhadap Katie yang ternyata bukan sekadar kekerasan belaka, tapi akumulasi dari pengaruh lingkungan digital yang berbahaya.

Lesson learned: Salah satu hal sederhana tapi berdampak besar adalah menetapkan batasan penggunaan media sosial. Bukan berarti memaksakan aturan, tetapi diskuskan dan libatkan anak dalam menetapkan batasan tersebut. Dengan demikian, kita tidak hanya menanamkan kedisiplinan, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab dan saling percaya.

Remaja Butuh Validasi untuk Bangun Jati Diri

Masa remaja adalah fase kritis pencarian jati diri. Mereka akan sibuk mencari jawaban dari pertanyaan “Siapa aku? Apa yang sebenarnya aku sukai?” dalam berbagai proses eksplorasi diri. Mereka berusaha membangun rasa identitas mereka sendiri yang unik, dan menemukan lingkungan sosial di mana mereka dapat menjadi bagian dan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain.

Dalam proses pencarian jati diri, remaja tidak hanya membutuhkan arahan, tetapi juga validasi. Tak heran jika mereka sering mencari figur panutan sebagai tolok ukur. Apakah mereka terlihat menarik, disukai, atau diterima oleh orang lain menjadi sangat penting. Dalam serial Adolescence, Jamie berusaha menarik perhatian Katie, namun penolakannya melukai rasa percaya diri Jamie yang sedang terbentuk. Bahkan, dalam sesi dengan psikolog di tahanan, Jamie terus memaksa dan mencari validasi dengan bertanya, “Apakah kamu menyukaiku?”

Lesson learned: Ketika remaja sudah mendapat cukup validasi dari orang tua dan lingkungan terdekat, mereka cenderung tumbuh dengan rasa percaya diri dan tidak mudah merasa kurang sehingga butuh mencari pengakuan dari luar dengan cara yang kurang sehat.

Lepaskan Beban Ekspektasi, Biarkan Anak Memilih Jalannya

Tak jarang orang tua memaksakan pilihan untuk anak karena dianggap sebagai jalan yang paling benar. Sayangnya, ketika anak gagal memenuhi ekspektasi yang sejak awal bukan pilihannya, ia bisa merasa tidak pernah cukup baik. Selain itu, penting diingat bahwa kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar dan tumbuh. Anak butuh ruang untuk mencoba, gagal, dan bangkit kembali. Bukan sekadar diarahkan untuk sukses, tapi didampingi dalam setiap prosesnya.

Sebagai contoh dalam serial Adolescence, Jamie terpaksa ikut sepak bola demi terlihat maskulin oleh ayahnya. Padahal, Jamie justru menemukan dirinya lewat seni. Diceritakan ketika Jamie kalah dalam sebuah pertandingan, ayahnya yang duduk di bangku penonton tidak menunjukkan reaksi apapun bahkan hanya mengalihkan pandangan. Padahal yang Jamie inginkan bukan kemenangan, ia hanya ingin diakui dan dibanggakan, apapun hasilnya.

Lesson learned: Dukung anak atas minat dan kemampuan mereka, bukan apa yang Anda harapkan. Ekspektasi yang dipaksakan dapat membuat anak kehilangan arah, bahkan kehilangan jati diri sendiri.

Tak Perlu Gengsi, Orang Tua Juga Bisa Belajar dari Anak

Suka atau tidak suka, tren generasi masa kini akan terus berkembang dengan cepat. Generasi muda saat ini hidup di dunia emoji, meme, dan bahasa daring yang terasa asing bagi generasi yang lebih tua. Tak heran jika orang tua seringkali kewalahan memahami apa yang sedang digemari anak. Namun, yang paling penting bukan soal ikut-ikut trennya, tetapi punya kemauan untuk belajar memahami. 

Hal ini terlihat dari salah satu adegan dalam serial Adolescence. Luke Bascombe, seorang detektif yang bertugas menyelidiki kasus pembunuhan Katie, justru belajar dari anaknya sendiri, Adam, untuk memahami makna emoji-emoji yang terdapat dalam unggahan Jamie. Momen ini menyadari kita bahwa banyak hal penting dalam dunia anak yang dapat luput dari radar orang tua kalau komunikasi dua arah tidak dirawat dengan baik. 

Lesson learned: Daripada hanya sibuk memberikan nasihat secara sepihak, mulailah membiasakan diskusi dua arah dengan anak. Melalui pendekatan ini, orang tua tidak hanya dapat membangun kedekatan emosional, tetapi juga turut memastikan bahwa nilai-nilai positif tertanam dalam pemikiran anak.

Tak Ada Pola Asuh yang Berlaku untuk Semua Anak

Berkaca dari serial Adolescence, Jamie dan kakaknya tumbuh di rumah yang sama, namun perjalanan hidup mereka sangat berbeda. Sang kakak terlihat mampu beradaptasi dan memenuhi ekspektasi keluarga, sementara Jamie justru merasa diabaikan secara emosional dan memiliki kebutuhan besar akan validasi. Perbedaan ini mengingatkan kita bahwa pola asuh tidak bisa disamaratakan. 

Jika Anda merasa perlu berdiskusi dan memahami dinamika keluarga atau perkembangan anak lebih dalam, layanan konseling anak, remaja, dan keluarga bisa menjadi langkah awal yang tepat. LPTUI menyediakan layanan konseling yang didampingi oleh psikolog yang ahli di bidangnya, di mana Anda dapat menemukan cara-cara membangun komunikasi yang sehat, memperkuat hubungan, dan mendampingi anak melewati fase penting dalam hidupnya. Hubungi LPTUI melalui link pendaftaran atau nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan informasi selengkapnya.

Ditulis oleh: Khadijah Muhdor

Referensi:

Glickman, E. A., Choi, K. W., Lussier, A. A., Smith, B. J., & Dunn, E. C. (2021). Childhood emotional neglect and adolescent depression: assessing the protective role of peer social support in a longitudinal birth cohort. Frontiers in Psychiatry, 12, 681176.

Ragelienė, T. (2016). Links of adolescents identity development and relationship with peers: A systematic literature review. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 25(2), 97.

Uhls, Y. T., Ellison, N. B., & Subrahmanyam, K. (2017). Benefits and costs of social media in adolescence. Pediatrics, 140(2), S67-S70.

Anda bisa membagikan artikel berikut kepada yang lain:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0

Keranjang Kamu Kosong

Tidak ada produk di keranjang Anda.