Salah satu kesalahpahaman yang sering ditemui di masyarakat tentang ilmu psikologi adalah anggapan bahwa cabang ilmu ini mengajarkan seseorang untuk membaca pikiran orang lain. Tak jarang, dari mahasiswa psikologi hingga psikolog profesional mendapat pertanyaan seperti, “Kamu bisa baca pikiran saya, ya?” setiap kali mereka menyebut jurusannya.
Pikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata sehingga sulit untuk mengetahui dengan pasti apa yang sedang dipikirkan seseorang. Namun, bukan berarti kita sama sekali tidak bisa menerka dengan bantuan petunjuk. Lalu, apakah ini bisa disebut “membaca pikiran”? Mari kita bahas lebih lanjut dalam artikel ini.
Sekilas tentang Membaca Pikiran
Kemampuan ‘membaca’ pikiran sebenarnya adalah upaya kita untuk menebak apa yang orang lain pikirkan atau rasakan lewat tanda-tanda seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, atau nada suara. Kemampuan ini memungkinkan kita kita bisa memahami, memprediksi, bahkan memengaruhi perilaku orang lain. Selain untuk memahami orang lain, kemampuan ini juga bantu kita mengatur cara bersikap dalam situasi sosial.
Memahami orang lain sangat penting dalam interaksi sehari-hari. Dengan kemampuan ini, kita bisa membaca situasi mengenai apakah seseorang sedang marah, bingung, atau butuh bantuan, kemudian kita dapat menyesuaikan respons yang tepat. Dalam konteks modern pun, kepekaan ini dapat jadi kunci dalam komunikasi, membangun hubungan, hingga kerja tim. Inilah yang membuat kemampuan ‘membaca’ pikiran menjadi salah satu fondasi penting dalam kehidupan sosial kita.
Cara Membaca Pikiran secara Ilmiah
Terdapat dua kerangka utama yang menjelaskan bagaimana manusia berusaha memahami atau ‘membaca’ pikiran orang lain, meskipun proses ini tidak pernah sepenuhnya akurat. Berikut penjelasannya:
-
Theory-Theory
Menurut pendekatan Theory-Theory, kita memahami pikiran orang lain dengan cara membuat teori kecil dalam kepala tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, atau inginkan. Proses ini seperti menyusun kepingan puzzle, di mana kita mengumpulkan informasi yang tersedia melalui ekspresi wajah, nada suara, situasi yang sedang terjadi, lalu menghubungkannya dengan pengetahuan dan aturan sosial yang kita miliki untuk menyimpulkan apa yang orang lain pikirkan atau rasakan.
Pendekatan ini biasanya digunakan ketika kita tidak familiar dengan orang yang bersangkutan atau dengan situasi yang sedang dihadapi. Sebagai contoh, ketika berada di lingkungan asing dengan budaya yang berbeda, kita perlu menelaah informasi yang tersedia secara lebih rasional agar dapat memahami perspektif orang lain dengan lebih akurat.
-
Simulation Theory
Simulation Theory mengatakan bahwa kita dapat memahami orang lain dengan cara mensimulasikan pengalaman mereka di dalam pikiran kita sendiri. Artinya, kita cukup membayangkan diri kita berada di posisi orang tersebut dan memikirkan apa yang akan kita rasakan, pikirkan, atau lakukan dalam situasi yang sama. Dari situ, kita dapat menyimpulkan apa yang kemungkinan mereka rasakan atau pikirkan.
Pendekatan ini cenderung lebih cepat dan terasa alami, terutama ketika orang yang ingin kita pahami memiliki latar belakang atau pengalaman yang mirip dengan kita. Misalnya, jika seorang teman baru saja gagal ujian dan kita pernah mengalami hal serupa, kamu dapat dengan mudah membayangkan apa yang ia pikirkan dan memahami keadaannya tanpa perlu banyak analisis.
Mitos Fakta Membaca Pikiran
Gagasan bahwa seseorang dapat membaca pikiran orang lain melalui telepati atau komunikasi supernatural tidak memiliki bukti ilmiah yang kredibel. Bahkan dalam pendekatan ilmiah sekalipun, tidak ada metode yang mampu membaca pikiran secara sempurna. Teknologi seperti pemindaian otak menggunakan fMRI memang dapat mendeteksi pola aktivitas saraf dan memberi petunjuk tentang proses kognitif tertentu, tetapi kemampuannya sangat terbatas. Alat ini tidak bisa benar-benar ‘membaca’ isi pikiran seseorang, apalagi menafsirkan perasaan, niat, atau keyakinan yang kompleks.
Baik psikolog terbaik maupun teknologi tercanggih tidak dapat mengetahui isi pikiran seseorang dengan akurasi penuh, karena pikiran manusia sangat kaya, kontekstual, dan terus berubah. Lebih dari itu, interpretasi kita sering kali dipengaruhi oleh bias atau kepentingan pribadi, sehingga dugaan tentang apa yang orang lain pikirkan tidak pernah bisa dipastikan kebenarannya.
Membaca Pikiran atau Memahami, Mana yang Lebih Penting?
Membaca pikiran bukanlah kemampuan supranatural, melainkan keterampilan sosial yang berkembang melalui interaksi dan pengalaman. Meskipun teknologi terus mencoba mendekati kemampuan ini, pikiran manusia tetap terlalu kompleks untuk diterjemahkan sepenuhnya. Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa membaca pikiran, melainkan bagaimana kita dapat saling memahami dengan lebih baik melalui mendengarkan, empati, dan menghargai perspektif orang lain.
—
Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor
Referensi:
Maibom, H. L. (Ed.). (2017). The Routledge handbook of philosophy of empathy (p. 2223). New York: Routledge.