LPTUI Latih Manajer Perusahaan Manufaktur Menjadi Coach melalui Leadership Development Program

Bagaimana transformasi coaching dapat membentuk manajer menjadi pemimpin yang bukan hanya berhasil mencapai target kerja,
tetapi juga konsisten mendorong pengembangan anggota timnya?

Berawal dari Gap yang Ditemukan HR 

Sebuah perusahaan manufaktur menghubungi LPTUI untuk berkonsultasi terkait kebutuhan pelatihan coaching untuk manajer (Leadership Development Program) di lapangan. Setelah melakukan asesmen dan menganalisis hasilnya, tim HR menemukan bahwa para middle manager masih memiliki kelemahan pada kompetensi tertentu. Kompetensi tersebut bukanlah kompetensi teknis, mengingat para manajer ini telah memiliki pengalaman dan keahlian yang mumpuni. Kompetensi yang dimaksud mencakup aspek-aspek kepemimpinan yang berhubungan dengan relasi interpersonal, seperti kemampuan mendengarkan, memahami, serta merespons kebutuhan tim.

Peran middle manager memiliki kekhasan tersendiri karena mereka berada di dua arah sekaligus: di satu sisi memimpin dan mengembangkan staf, namun di sisi lain tetap harus mengikuti arahan atasan dan menyelaraskan prioritas organisasi. Sebagai middle manager, mereka tidak hanya diharapkan mampu membawa tim mencapai target, tetapi juga memastikan setiap staf merasa berdaya. Menyeimbangkan peran ini menuntut kemampuan kepemimpinan yang adaptif dalam mengelola dinamika tim.

Namun, hasil asesmen menunjukkan bahwa level kompetensi tersebut masih berada di bawah standar yang diharapkan. Tim HR pun khawatir bahwa apabila kompetensi kepemimpinan tidak selaras dengan standar kompetensi organisasi, hal ini dapat memengaruhi dinamika tim dalam jangka panjang dan pada akhirnya berdampak pada produktivitas organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang tepat untuk memitigasi permasalahan ini melalui pendekatan yang relevan, termasuk pelatihan coaching untuk manajer.

Coaching sebagai Pilihan Intervensi  

Pelatihan coaching untuk manajer dipilih sebagai intervensi yang tepat karena pendekatan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan keterampilan, tetapi juga pada pengembangan cara pandang dan strategi kepemimpinan yang lebih efektif dalam membangun kolaborasi dengan timnya. Melalui proses coaching, para middle manager dilatih untuk menggali potensi anggota tim melalui pendekatan yang reflektif, bukan sekadar memberi instruksi. Setelah melakukan need assessment secara menyeluruh, diputuskan bahwa LPTUI akan melakukan intervensi berupa pelatihan coaching selama kurang lebih enam bulan.

Proses intervensi diawali dengan sesi kickoff yang menghadirkan middle manager bersama anggota timnya. Sesi ini memberikan sosialisasi kepada seluruh pihak yang terlibat agar dapat mendukung keberhasilan intervensi secara bersama-sama. Para middle manager kemudian mengikuti workshop selama tiga hari, di mana mereka diberikan pembekalan framework dan praktik yang akan mereka lakukan sebagai coach. Setelah sesi workshop, para middle manager diminta untuk mulai melakukan coaching kepada 2–3 coachee.

Para staf sebenarnya telah memiliki Individual Development Plan (IDP) yang difasilitasi oleh tim HR. Namun, tantangannya muncul ketika rekomendasi dalam IDP sudah diberikan, tetapi tidak ada sosok yang secara konsisten memantau progres atau menjadi tempat berkonsultasi ketika staf menghadapi kesulitan. Di sinilah peran para middle manager yang telah mendapatkan pelatihan coaching untuk manajer menjadi krusial. Mereka diharapkan tidak hanya memimpin pekerjaan yang berorientasi target, tetapi juga menjalankan fungsi sebagai coach yang membersamai staf dalam menjalankan rencana pengembangan individual mereka.

Transformasi Peran Middle Manager Melalui Coaching 

Salah satu hal menarik dari proyek ini adalah dinamika bekerja dengan para middle manager yang mayoritas memiliki latar belakang pendidikan dan karier di bidang teknik—bidang yang cenderung sangat terstruktur. Ketika diberikan target, mereka terbiasa fokus pada angka, proses, dan langkah-langkah terukur untuk mencapai tujuan. Saat diperkenalkan dengan konsep coaching, kami melihat munculnya resistensi awal. Sebagian middle manager merasa bahwa mengobrol personal atau mendampingi pengembangan individu tim bukanlah ranah mereka. Bahkan, beberapa menyampaikan bahwa mereka tidak terbiasa melakukan percakapan non-teknis dengan anggota tim. Mereka pun sempat ragu apakah mampu menjalankan peran sebagai coach.

Namun, keraguan tersebut mulai bergeser seiring proses berjalan. Selama enam bulan, para middle manager mendapatkan supervisi langsung dari coach profesional yang memberikan umpan balik mengenai kualitas sesi coaching. Intervensi ini memerlukan proses bertahap dan monitoring berkala agar perubahan yang terjadi tidak hanya muncul sesaat, tetapi benar-benar mengakar dan tercermin dalam praktik kepemimpinan sehari-hari.

Program pelatihan coaching untuk manajer ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan awal tim HR: mentransformasi peran middle manager menjadi pemimpin yang tidak hanya mengatur pekerjaan, tetapi juga berperan aktif dalam mengembangkan potensi bawahan melalui coaching. Selain itu, mereka juga dibekali keterampilan mentoring yang memungkinkan mereka memberikan arahan berbasis keahlian teknis secara lebih terstruktur.

Dampak Implementasi Program Coaching 

Untuk mengukur dampak dari intervensi pelatihan coaching untuk manajer, kami mengumpulkan umpan balik dari berbagai pihak yang terlibat. Dari sisi staf yang menjadi coachee, mereka kini merasa memiliki sosok pemimpin yang lebih peduli terhadap perkembangan mereka. Mereka tidak lagi ragu menyampaikan tantangan yang dihadapi karena yakin bahwa atasan akan mendengarkan dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan.

Sementara itu, bagi para middle manager sebagai peserta pelatihan, meski awalnya cukup sulit meluangkan waktu untuk aktivitas di luar pekerjaan utama, mereka merasakan kepuasan tersendiri ketika melihat staf mendapatkan manfaat nyata dari proses coaching. Banyak staf menilai sesi ini membantu mereka mendapatkan perspektif baru dalam menganalisis permasalahan dan menemukan solusi. Kami juga melihat adanya inisiatif dari kedua belah pihak, baik staf maupun middle manager, untuk saling mencari waktu yang tepat bagi sesi coaching.

Dalam survei akhir, kami menanyakan apakah program coaching ini perlu dilanjutkan. Hasilnya cukup menggembirakan: 89% peserta menyatakan setuju program ini diteruskan. Lebih dari sekadar memenuhi target awal, kami juga menemukan bahwa para coachee menunjukkan minat untuk mempelajari coaching agar dapat menerapkannya kepada bawahan mereka kelak. Temuan ini mendapat apresiasi besar dari pimpinan perusahaan, yang bahkan menyampaikan bahwa program coaching idealnya dapat diikuti oleh lebih banyak karyawan dan tidak hanya terbatas pada level middle manager.

Lesson Learned untuk Para HR 

Di balik keberhasilan intervensi ini, kami melihat peran penting tim HR sebagai pihak klien yang secara proaktif mencari solusi yang tepat bagi kebutuhan organisasi. Dari proyek ini, kami merangkum beberapa hal yang dapat menjadi pembelajaran bersama, antara lain: 

  1. Perhatikan Hal yang Tidak Selalu Terlihat di Permukaan

    Ketika pencapaian KPI menjadi parameter utama, HR sering kali melihat bahwa seorang pemimpin sudah “baik-baik saja” selama target tercapai. Namun, keberhasilan teknis tidak selalu mencerminkan kondisi dinamika tim yang sebenarnya. Dalam beberapa kasus, pemimpin mampu membawa tim memenuhi target, tetapi kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti komunikasi, kedekatan dengan anggota tim, hingga mendorong pengembangan kompetensi mereka.

  2. Pelatihan Harus Didukung Praktik Berkelanjutan

    Mengingat dalam learning framework pelatihan hanya menyumbang sekitar 10% dari proses pembelajaran, pelatihan tidak akan terasa dampaknya jika tidak disertai keberlanjutanUntuk mencapai perubahan yang benar-benar nyataapa yang dipelajari dalam kelas perlu terus dipraktikkan dan diperkuat melalui proses pendampingan lanjutan. Tanpa keberlanjutan tersebuthasil pelatihan tidak dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan di tempat kerja.

  3. HR sebagai Mitra Strategis Perubahan

    HR dapat bekerja sama dengan konsultan dalam mengidentifikasi apakah sebuah gap berasal dari permasalahan individual atau membutuhkan program yang dapat diterapkan secara lebih luas sesuai konteks organisasi. Setelah itu, konsultan sebagai pihak eksternal yang dapat melihat kebutuhan organisasi secara objektif kemudian merancang intervensi yang paling tepat. Dengan memberikan masukan yang kontekstual dan tetap terlibat dalam setiap tahap, HR berperan bukan hanya sebagai penerima program yang “siap pakai,” tetapi benar-benar menjadi mitra strategis yang memastikan intervensi memberikan dampak nyata bagi organisasi. 

    Cari tahu lebih lanjut mengenai layanan pelatihan dan sertifikasi di LPTUI.
    Klik di sini.  

Ditulis oleh: Dea Shahnaz Virginia
Disunting oleh: Khadijah Almuhdor

Anda bisa membagikan artikel berikut kepada yang lain:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0

Keranjang Kamu Kosong

Tidak ada produk di keranjang Anda.