Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang merasa harus selalu bisa mengerjakan semua hal sendiri? Mereka terlihat sangat kuat, mandiri, dan seolah tidak membutuhkan bantuan siapa pun.
Padahal, sebagai makhluk sosial, manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk saling bergantung satu sama lain. Namun, di tengah tuntutan kehidupan modern dan tekanan untuk “harus bisa sendiri,” banyak orang justru menghindari bantuan dari orang lain dan memilih untuk memikul semua beban sendiri hingga akhirnya melelahkan secara fisik dan emosional.
Menjadi mandiri adalah hal yang baik. Namun, ketika pola kemandirian menjadi terlalu ekstrem dan terus dibiarkan, hal ini bisa berdampak negatif. Kondisi seperti ini dikenal sebagai hyper-independence.
Apa itu hyper-independence, penyebabnya, ciri-cirinya, dan bagaimana kita bisa mengatasinya? Simak selengkapnya dalam artikel ini.
Pengertian Hyper-independence
Hyper-independence dapat didefinisikan sebagai ketergantungan yang berlebihan pada diri sendiri hingga mengabaikan dukungan eksternal. Hal ini ditandai dengan kecenderungan keengganan mempercayai orang lain atau menghindari untuk mencari bantuan meski sangat membutuhkan. Hyper-independence bukan sekadar keinginan untuk mandiri, sering kali hal ini dijadikan mekanisme pertahanan yang terbentuk akibat pengalaman traumatis, pengkhianatan, kegagalan, atau pengalaman lain yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap orang lain.
Meskipun tampak kuat dari luar, individu dengan hyper-independence seringkali menyimpan perasaan tidak aman, takut kecewa, atau takut dianggap lemah jika bergantung pada orang lain. Jika tidak disadari, pola ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental, hubungan sosial, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Baca sebelumnya tentang cara menangani stres.
Faktor Penyebab Hyper-independence
Terdapat beberapa faktor yang dapat menjelaskan bagaimana hyper-independence dapat terbentuk dalam sikap dan perilaku seseorang, di antaranya:
-
Hubungan dengan Orang Tua atau Pengasuh di Masa Kecil
Ketika anak merasa orang tua atau pengasuhnya selalu hadir dan responsif, mereka kemudian dapat mengembangkan hubungan yang aman dan penuh kepercayaan. Sebaliknya, jika anak merasa diabaikan atau kurang mendapatkan respons emosional yang sesuai, mereka tumbuh dengan keyakinan hanya bisa mengandalkan diri sendiri yang kemudian membentuk pola hyper-independence dan akan memengaruhi cara mereka menjalin relasi saat tumbuh dewasa.
-
Pengalaman Menyakitkan
Ketika seseorang pernah dikhianati atau disakiti oleh orang yang dipercayai, rasa percaya tersebut sangat sulit diberikan kembali. Akibatnya, kekecewaan yang muncul membuat seseorang menarik diri dan merasa tidak ada lagi yang bisa benar-benar diandalkan. Dengan demikian, muncullah pola untuk selalu mengandalkan diri sendiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan menolak bantuan, yang mana mencerminkan pola hyper-independence.
-
Eldest Daughter Syndrome
Ditandai dengan kecenderungan seseorang untuk mengambil tanggung jawab secara berlebihan karena terbiasa selalu diandalkan, Eldest Daughter Syndrome bukan merupakan merupakan gangguan psikologis dan tidak hanya terjadi pada anak perempuan pertama saja. Istilah ini lebih menggambarkan pola yang terbentuk akibat ekspektasi sosial dan peran yang terus-menerus dipikul hingga akhirnya seseorang merasa harus selalu bisa sendiri, bahkan ketika kewalahan.
-
Lingkungan yang kompetitif
Hyper-independence tidak selalu tentang faktor internal. Dalam beberapa kasus, pola ini juga bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan yang sangat kompetitif, di mana kemampuan individu lebih dihargai daripada kerja sama dan meminta bantuan sering dianggap sebagai tanda kelemahan. Akibatnya, banyak orang terdorong untuk selalu mengandalkan diri sendiri demi menjaga citra “kuat” di mata orang lain.
Ciri-ciri Hyper-independence
Sifat Hyper-independence bukan sekadar tentang melakukan segalanya sendiri atau sulit meminta bantuan. Terdapat sejumlah ciri lain yang seringkali tidak disadari, beberapa di antaranya:
-
Sulit Mendelegasikan Tugas
Seseorang dengan hyper-independence merasa segalanya akan lebih cepat dan benar jika dikerjakan sendiri. Luka dan trauma yang dimiliki membuat mereka sulit mempercayai orang lain sehingga enggan mendelegasikan tanggung jawab.
-
Sering Mengambil Alih Tugas Kelompok
Bagi seseorang dengan hyper-independence, tugas kelompok menjadi tantangan tersendiri karena sulit percaya bahwa orang lain akan mengerjakannya “dengan benar”. Tak jarang mereka berakhir menanggung beban yang seharusnya bisa dibagi.
-
Canggung saat Menerima Bantuan
Meski tidak meminta, seseorang dengan hyper-independence seringkali merasa canggung atau bahkan tidak layak saat menerima bantuan atau pertolongan karena tidak terbiasa bergantung pada orang lain.
-
Merasa Bersalah jika Tidak Produktif
Dikarenakan terlalu keras pada diri sendiri, seseorang dengan hyper-independence dapat merasa bersalah saat mengambil jeda untuk beristirahat. Mereka terbiasa terus menyelesaikan banyak hal sehingga seolah selalu ada yang harus dikejar.
Mungkinkan Mengatasi Hyper-independence?
Pada akhirnya, hyper-independence merupakan respons psikologis dan bukan identitas tetap yang melekat selamanya. Untuk mengatasinya, dibutuhkan kesadaran diri dalam mengenali pola-pola yang muncul, waktu dan proses yang konsisten untuk belajar perlahan mempercayai orang lain, serta mendapatkan dukungan yang tepat. Konseling dengan psikolog juga dapat membantu menggali akar permasalahan sehingga pola ini bisa digantikan dengan cara berelasi yang lebih sehat dan pemulihan dapat terjadi secara menyeluruh.
Jika Anda atau siapa saja membutuhkan, LPTUI menyediakan layanan konseling bersama psikolog yang berpengalaman dalam pemulihan trauma psikologis. Hubungi kami melalui link pendaftaran atau hubungi nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan jadwal konsultasi dan informasi selengkapnya.
—
Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor
Referensi:
Abraham, R. How Parent-Child Attachment May Influence Relational Self-Efficacy in Adults. Family Perspectives, 6(1), 3.
Askaree, L., Safdar, K., Fraooqui, J., Umar, H., Panhwar, R. J., & Baloch, L. K. (2025). Investigating the Relationship between Childhood Trauma and Hyper-Independence among University Students: From Adversity to Self-Reliance. Research Journal of Psychology, 3(2), 290-307.
Chatterjee, D. (2024). Understanding ‘Eldest Daughter Syndrome’. International Journal of Creative Resource Thoughts, 12(5). http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.4832693