Film Jumbo tengah menjadi perbincangan hangat di dunia perfilman. Mengangkat kisah tentang Don, seorang anak yang gemar membacakan dongeng warisan orang tuanya yang telah tiada, film ini menyuguhkan cerita yang hangat dan menyentuh. Saat sebuah perlombaan antarwarga digelar, Don memberanikan diri tampil membacakan dongeng tersebut. Namun, film Jumbo bukan sekadar kisah tentang sebuah perlombaan. Film ini juga mengangkat dinamika pertemanan, perjuangan menghadapi tantangan, dan bagaimana seorang anak menemukan keberanian.
Berhasil mencetak sejarah sebagai film animasi Asia Tenggara terlaris sepanjang masa, pencapaian film Jumbo ini sepadan dengan proses produksi matang yang membutuhkan waktu hingga lima tahun. Dengan alur cerita yang kuat, pengisi suara dan musik yang ikonik, serta visual yang menawan, film ini tak hanya menghibur anak-anak, tapi juga menyimpan pesan bermakna bagi penonton dewasa. Mari kita bahas beberapa pembelajaran menarik dari film Jumbo dalam artikel ini.
Terkadang Kita Diremehkan, but That’s Okay!
Don memang bukan yang paling hebat dalam bidang olahraga. Tubuhnya yang besar kerap membuatnya dianggap sebagai beban tim. Namun, Don punya kekuatan lain, yaitu kemampuan membacakan dongeng dengan cara yang menarik. Dalam film Jumbo dikisahkan bagaimana Don mulai tampil di depan teman-temannya dan menemukan kepercayaan diri lewat cerita dongeng warisan orang tuanya. Meski sempat ditolak dan diremehkan, Don tidak menyerah. Ia terus melakukan apa yang ia sukai, hingga akhirnya berani tampil di perlombaan antarwarga.
Dari film Jumbo kita belajar bahwa penolakan, kegagalan, atau keraguan dari orang lain bukanlah akhir dari segalanya. Justru, dari sinilah kita bisa belajar bangkit, beradaptasi, dan terus berusaha. Don adalah contoh nyata dari resiliensi.
Sesulit Apapun Hidup, Jangan Pernah Jahat
Dalam salah satu adegan mengharukan, Atta meluapkan kesedihannya kepada sang abang. Menjalani kehidupan yang serba pas-pasan dengan sang abang dan tanpa orang tua, Atta menginginkan kehidupan yang lebih layak seperti yang dimiliki anak-anak lain. Bahkan, ia sempat merampas buku dongeng milik Don, yang mana bukan ia lakukan karena kebencian, melainkan karena rasa sedih dan kecewa yang tak mampu ia ungkapkan.
Namun, alih-alih memarahinya, sang abang justru merespons dengan penuh empati. Abang berpesan bahwa marah, lelah, kecewa adalah manusiawi, tetapi bukan berarti kita boleh melampiaskannya kepada orang lain. Dengan self-awareness yang baik, emosi yang kita rasakan tidak hanya diakui, tapi juga perlu diarahkan secara bijak. Film Jumbo menunjukkan kepada kita bentuk sederhana dari regulasi emosi.
Tak Hanya Bercerita, Kita Juga Perlu Mendengarkan
Dalam mempersiapkan pentas, Don terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Ia senang menjadi pusat perhatian sebagai pencerita dongeng yang didengarkan oleh orang lain. Seringkali Jumbo jadi tidak sepenuhnya mendengarkan cerita atau maksud dari orang-orang di sekitarnya. Namun, perlahan Jumbo mulai menyadari bahwa tidak selamanya ia jadi pemeran utama, terkadang ia perlu juga merasakan jadi audiens.
Bukan sekadar menunggu giliran untuk berbicara, mendengarkan orang lain memerlukan atensi dan kesungguhan untuk memahami. Kita tak hanya menangkap apa yang dikatakan, tetapi juga mengerti emosi yang tak diucapkan dan konteks yang membentuk pesan. Inilah seni mendengar seutuhnya yang penting untuk kita terapkan agar dapat menjadi menjadi pendengar yang baik dengan penuh empati.
Jangan Egois, Dunia Tidak Berputar di Sekitar Kita
Meri dan Jumbo membuat kesepakatan: Don akan membantu Meri mencari arwah orang tuanya jika Meri dapat membantu Don mencari buku dongengnya yang hilang. Setelah menemukan buku dongeng tersebut, Don menunda menjalankan kesepakatannya dan meminta Meri untuk ikut membantu pentas karena suaranya yang merdu. Pentas tersebut pun berhasil menang sehingga Don perlu tampil kembali dalam malam puncak festival. Namun alih-alih menepati janjinya, Don kembali meminta bantuan Meri untuk membantunya dalam pentas, membuat Meri marah dan akhirnya pergi sendiri untuk mencari arwah orang tuanya.
Don tidak hanya mengingkari janjinya, tapi juga mengabaikan kebutuhan Meri juga sama pentingnya. Kita belajar bahwa jika terlalu fokus pada diri sendiri, kita dapat melukai orang lain yang sebenarnya hadir untuk membantu kita. Sikap egois ini dapat menghambat kita untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat. Dari film Jumbo kita belajar pentingnya menepati janji.
Film Jumbo bukan sekadar tontonan seru. Di balik visual yang memukau dan cerita yang hangat, film ini menyentuh tema-tema penting seperti pengalaman traumatis, konflik antar teman, hingga memahami emosi sendiri maupun orang lain.
Anak-anak seperti Don, Meri, dan Atta adalah potret nyata dari perasaan yang terpendam, harapan yang belum tersampaikan, dan kebutuhan untuk dipahami. Jika Anda adalah orang tua, guru, atau pendamping anak, film Jumbo dapat menjadi alat untuk membantu proses refleksi. Namun jika dirasa anak membutuhkan ruang dan dukungan emosional yang lebih lanjut, LPTUI menyediakan layanan konseling dengan psikolog klinis anak dan remaja profesional yang ahli di berbagai bidang. Hubungi LPTUI melalui link pendaftaran atau nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan informasi selengkapnya.
—
Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor
Referensi:
Bodie, G. D. (2012). Listening as positive communication. The positive side of interpersonal communication, 109-125.
Niu, J., Jin, C., & Meng, L. (2023). The structural relations of self-control, empathy, interpersonal trust, friendship quality, and mental well-being among adolescents: a cross-national comparative study in China and Canada. Humanities and Social Sciences Communications, 10(1), 1-11.
Wu, G., Feder, A., Cohen, H., Kim, J. J., Calderon, S., Charney, D. S., & Mathé, A. A. (2013). Understanding resilience. Frontiers in behavioral neuroscience, 7, 10.