Pernahkah Anda merasa ‘terjebak’ dalam sebuah hubungan yang terasa menyesakkan? Alih-alih merasa tenang dan dihargai dalam sebuah hubungan, justru yang muncul adalah rasa takut, cemas, atau bahkan terintimidasi?
Hati-hati, mungkin Anda terperangkap dalam toxic relationship. Meski umumnya ditemukan dalam konteks hubungan romantis, namun toxic relationship juga dapat terjadi dalam konteks hubungan keluarga, pertemanan, hingga kolega kerja. Namun, apa itu toxic relationship dan mungkinkah kita keluar dari perangkapnya? Mari simak selengkapnya melalui artikel ini.
Pengertian Toxic Relationship
Secara harfiah, ‘toxic’ berarti sesuatu yang mengandung racun dan dapat merusak serta membawa dampak negatif dalam kehidupan seseorang. Sementara toxic relationship dapat diartikan sebagai hubungan di mana perilaku atau pola pikir salah satu pihak menyakiti dan merugikan pihak lainnya. Pola hubungan yang tidak sehat ini dapat membuat individu yang terlibat di dalamnya merasa tidak bahagia, terhina, terintimidasi, dan selalu menjadi sasaran ledakan emosi yang berujung pada kekerasan verbal, fisik, hingga psikologis.
Dalam toxic relationship, dinamika hubungan cenderung destruktif dan minim rasa saling menghargai. Sementara hubungan yang sehat dibangun atas dasar komitmen dan kasih sayang yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan menghormati, sebaliknya dalam toxic relationship komitmen seringkali didasari oleh ketidakpercayaan dan kontrol, yang lambat laun justru saling menghancurkan satu sama lain.
Ciri-ciri Toxic Relationship
Toxic relationship umumnya menunjukkan pola yang berulang. Jika dikenali lebih awal, hal ini dapat membantu seseorang untuk mengambil langkah awal keluar dari toxic relationship. Beberapa ciri toxic relationship antara lain:
-
Kontrol dan Dominasi Berlebihan dalam Hubungan
Setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan dalam menjalani hidup. Namun, dalam toxic relationship, kebebasan tersebut seolah ‘dicabut’ karena adanya dorongan salah satu pihak untuk mengontrol dan mendominasi pasangannya. Upaya ini kerap dibungkus dalam bentuk manipulasi yang tampak seperti kepedulian, misalnya larangan yang tidak masuk akal, pengawasan berlebihan, atau perlakuan yang membuat pasangan merasa tidak berdaya dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
-
Tuntutan dan Ekspektasi yang Tidak Realistis
Dalam toxic relationship, salah satu pihak kerap menuntut perhatian dan pengorbanan secara terus-menerus tanpa memedulikan kebutuhan pasangannya. Segala upaya dicurahkan hanya untuk hubungan tersebut, seolah tidak ada ruang untuk hubungan lain dalam hidupnya. Hal ini seringkali berakhir pada ketimpangan yang merugikan, di mana satu pihak hanya memberi, sementara pihak lainnya terus menerima tanpa balasan.
-
Kehilangan Ketenangan Hati dan Identitas Diri
Alih-alih merasa bahagia, toxic relationship justru menimbulkan rasa lelah, cemas, dan frustrasi. Pola hubungan seperti ini menguras energi hingga seseorang merasa tidak lagi memiliki kekuatan untuk melepaskan diri. Lebih dari itu, identitas diri pun perlahan terkikis karena terus-menerus mengorbankan diri, mengabaikan kebutuhan pribadi, dan kehilangan ruang untuk berkembang demi pihak lain yang akhirnya perlahan merasa asing dengan diri sendiri.
-
Ledakan Emosi yang Mengarah pada Kekerasan
Dalam toxic relationship, konflik atau masalah seringkali disikapi dengan pelampiasan emosi secara tidak sehat. Ketidakmampuan mengelola emosi ini dapat memicu berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti hinaan, ejekan, atau komentar yang merendahkan, hingga kekerasan emosional seperti silent treatment dan manipulasi guilt-tripping. Tak jarang situasi ini dapat berkembang menjadi kekerasan fisik seperti mendorong, menampar, memukul, atau menendang.
Cara Mengatasi Toxic Relationship
Meski terasa berat dan penuh tantangan, keluar dari toxic relationship bukanlah hal yang mustahil. Berikut beberapa hal penting yang perlu diperhatikan untuk mulai melepaskan diri dari hubungan yang tidak sehat:
-
Mulai Menetapkan Batasan
Batasan adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Dengan menetapkan batasan yang jelas, kita memastikan bahwa kebutuhan dan nilai-nilai pribadi tidak diabaikan. Batasan membantu kita membedakan secara tegas antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat diterima dalam sebuah hubungan. Misalnya, memilih untuk mengakhiri hubungan dengan seseorang yang telah menyakiti kita, atau berhenti melibatkan orang yang terus-menerus melanggar ruang pribadi dan waktu kita.
-
Mengeksplor Cara untuk Menjadi Independen
Terkadang, hal yang paling menyulitkan saat ingin keluar dari toxic relationship adalah rasa tidak berdaya karena sudah terlalu bergantung pada pihak lain, meskipun hubungan tersebut menyakitkan. Mulailah dengan mengidentifikasi aspek-aspek hidup di mana Anda merasa terlalu bergantung. Misalnya, jika Anda bergantung secara finansial, pertimbangkan untuk mencari penghasilan tambahan atau belajar keterampilan baru. Langkah-langkah kecil ini bisa menjadi pondasi penting untuk membangun kemandirian dan keberdayaan.
-
Membangun Support System
Kelilingi diri Anda dengan support system yang dapat memberikan dukungan dan kekuatan selama proses keluar dari toxic relationship. Support system ini bisa berupa teman dekat, keluarga, atau siapa pun yang Anda percaya dapat hadir tanpa menghakimi. Dukungan dari orang-orang terdekat dapat membantu Anda melepaskan diri dari jeratan pola hubungan yang merugikan, sekaligus mengarahkan Anda menuju lingkungan yang lebih sehat dan membangun.
-
Mencari Pertolongan Profesional seperti Psikolog
Berada dalam toxic relationship dalam jangka waktu lama dapat menjadi pengalaman traumatis yang meninggalkan luka emosional mendalam. Jika tidak segera ditangani, luka ini bisa menghambat proses pemulihan dan membuat langkah selanjutnya terasa semakin berat. Konseling dengan tenaga profesional dapat membantu Anda memproses pengalaman tersebut.
Jika Anda atau siapa saja yang Anda kenal sedang berusaha keluar dari toxic relationship, LPTUI menyediakan layanan konseling dengan psikolog yang dapat membantu untuk membuka lembaran baru dalam kondisi yang lebih sehat. Hubungi kami melalui link pendaftaran atau nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan informasi selengkapnya.
—
Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor
Referensi:
Elisabeth, M. P., & Uthama, E. D. (2022). Restoration of Trust in Toxic Relationships. Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, 5(2), 9402-9410.
Lee, M. (2018). Toxic relationships: 7 alarming signs that you are in a toxic relationship. Isaac Cruz.
Praptiningsih, N. A., Mulyono, H., & Setiawan, B. (2024). Toxic relationship in youth communication through self-love intervention strategy. Online Journal of Communication and Media Technologies, 14(2), e202416.
Solferino, N., & Tessitore, M. E. (2021). Human networks and toxic relationships. Mathematics, 9(18), 2258.
Zikri, Z. F. N., Salamah, U., Febrina, R. I., & Azni, E. A. (2024). The Meaning of Toxic Relationship Communication for Teenagers. Jurnal Spektrum Komunikasi, 12(2), 233-245.