Workaholic: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasinya

Pernahkah Anda menemui seseorang yang sulit berhenti bekerja, meski sudah merasa lelah? Atau merasa gelisah saat istirahat sejenak karena merasa seakan seluruh waktunya hanya untuk bekerja?  

Berdedikasi dalam pekerjaan memang baik, tapi ketika pekerjaan mulai menguasai seluruh aspek hidup bahkan membuat kita menelantarkan yang lainnya, dampaknya bisa serius bagi kesehatan fisik maupun mental. Dalam artikel ini kita akan membahas selengkapnya mengenai apa itu workaholic, mengapa seseorang bisa terjebak di dalamnya, bagaimana dampak serta cara mengatasinya agar hidup tetap seimbang. 

Pengertian Workaholic 

Istilah workaholic pada awalnya digunakan dengan konotasi negatif sampai penamaannya dibuat mirip dengan pecandu alkohol  atau alcoholic. Seseorang dianggap workaholic ketika ia terjebak dalam pola kerja berlebihan akibat dorongan dari dalam diri, kesulitan mengatur kebiasaan kerja, hingga mengabaikan aspek kehidupan lainnya seperti keluarga, teman, dan aktivitas sosial.  

Definisi yang lebih mutakhir mendeskripsikan workaholic secara lebih komprehensif dalam tiga dimensi. Pertamadimensi perilaku di mana seseorang terlihat menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja dan membatasi aktivitas lain. Keduadimensi kognitif dalam bentuk obsesi terhadap pekerjaan hingga sulit berhenti bahkan terus memikirkan pekerjaan di luar jam kerja. Ketiga, dimensi afektif dengan munculnya emosi positif seperti kepuasan dan kesenangan saat bekerja, sekaligus emosi negatif seperti rasa bersalah dan takut ketika tidak bekerja. Definisi ini menggambarkan bahwa workaholic bukan sekadar soal banyaknya jam kerja, tetapi juga bagaimana cara seseorang berpikir dan merasakan pekerjaannya. 

Mengapa Seseorang Bisa Menjadi Workaholic? 

Terdapat beberapa faktor yang membuat seseorang cenderung menjadi workaholic, baik karena dorongan dari dalam diri maupun tekanan dari eksternal. Beberapa di antaranya adalah:  

Kecenderungan Perfeksionis 

Salah satu faktor yang sering mendorong seseorang menjadi workaholic adalah perfeksionisme atau kecenderungan menjadikan segala hal sempurna. Ketika ditemukan adanya gap antara standar yang ditetapkan sendiri dengan pencapaian yang sesungguhnya, seseorang terus merasa gagal memenuhi target yang sangat tinggi atau bahkan tidak realistis, hingga muncullah rasa tidak puas yang terus menerus. 

Dalam kondisi ini, bekerja berlebihan sebagai menjadi cara untuk menghindari emosi negatif terhadap diri sendiri, sekaligus pembenaran atas kegagalan yang nyata maupun yang dibayangkan. Sayangnya, strategi ini justru menciptakan lingkaran setan: semakin besar perasaan gagal, semakin keras seseorang bekerja untuk mengejar standar yang mustahil, yang pada akhirnya dapat mengarah pada kelelahan dan kehancuran diri. 

Dorongan Mencapai Kesejahteraan Finansial 

Keinginan untuk mencapai kondisi finansial yang stabil atau target finansial yang tinggi sering kali menjadi pendorong kuat munculnya perilaku workaholic. Saat seseorang memiliki target tertentu seperti membeli rumah, menjamin masa depan keluarga, atau mencapai standar hidup yang lebih tinggi, mereka cenderung menginvestasikan lebih banyak waktu dan energi ke dalam pekerjaan. 

Dalam banyak kasus, bekerja berlebihan dianggap sebagai jalan paling efektif untuk mempercepat pencapaian tujuan tersebut. Namun, dorongan finansial yang tidak diimbangi dengan batasan sehat dapat menjebak individu dalam siklus kerja tanpa henti, di mana keberhasilan materi selalu terasa belum cukup dan waktu untuk kebutuhan pribadi semakin terabaikan. 

Budaya Organisasi dan Tekanan Manajemen 

Faktor lingkungan kerja berperan penting dalam memicu kecenderungan  workaholism. Beban kerja yang besar, tuntutan tugas yang tinggi, jam kerja panjang, deadline ketat, serta tanggung jawab yang berlapis sering kali menjadi pemicu utama. Budaya organisasi yang menilai keberhasilan hanya dari produktivitas dan output membuat karyawan merasa wajib terus bekerja demi memenuhi standar.  

Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat menormalisasi kerja berlebihan. Terlebih jika tekanan dari atasan atau sistem manajemen yang memperkuat dorongan ini. Hal ini dapat membuat individu merasa bahwa mengorbankan waktu pribadi adalah hal wajar demi dianggap berprestasi atau loyal terhadap perusahaan. 

Apa Dampak Negatif yang Dirasakan Seorang Workaholic? 

Workaholism jika tidak dikelola dan dibiarkan menjadi kebiasaan jangka panjang dapat berisiko menimbulkan beberapa dampak negatif. Beberapa di antaranya adalah: 

Meningkatnya Kecemasan 

Seorang workaholic cenderung merasa sulit melepaskan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Bahkan saat istirahat pun muncul rasa gelisah atau bersalah. Perfeksionisme dan standar tinggi membuat mereka terus merasa harus bekerja lebih keras, yang mana menimbulkan rasa tertekan yang mereka ciptakan sendiri.  

Bahkan jika seorang workaholic merasa “baik-baik saja” karena masih produktif, jam kerja panjang berkepanjangan tanpa dapat meningkatkan kadar hormon stres (kortisol) yang berisiko meningkatkan gangguan kecemasan. Sering kali seorang workaholic tidak menyadari bahwa produktivitas tinggi mereka dapat menimbulkan risiko psikologis. 

Munculnya Burnout Berkepanjangan 

Workaholic cenderung memforsir diri untuk terus bekerja, bahkan ketika tubuh dan pikiran sebenarnya sangat membutuhkan istirahat. Pola kerja berlebihan ini membuat mereka jarang memberi ruang pemulihan baik melalui tidur yang cukup, aktivitas rekreasi, maupun bersosialisasi dengan orang lain. 

Akibatnya, energi fisik dan mental semakin terkuras sedikit demi sedikit. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berujung pada burnout yang ditandai dengan rasa lelah berkepanjangan, kesulitan mempertahankan fokus, menurunnya motivasi, hingga munculnya sikap sinis terhadap pekerjaan. 

Menimbulkan Work–Life Conflict  

Sebagai manusia, kita memegang berbagai peran. Bukan hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai orang tua, anak, pasangan, saudara, atau anggota masyarakat. Masing-masing peran memiliki tanggung jawab yang penting untuk dijalani. Ketika seorang workaholic terlalu terfokus pada pekerjaan hingga mengabaikan aspek lain dalam hidupnya, maka benturan antara tuntutan kerja dan kebutuhan pribadi maupun sosial tak terhindarkan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menimbulkan rasa bersalah, memicu ketegangan dalam hubungan, bahkan berujung pada konflik terbuka dengan orang-orang terdekat. 

Bagaimana Cara Mengatasi Kecenderungan Workaholic? 

Workaholic memang bukan merupakan gangguan medis maupun psikologis, melainkan kecenderungan pola pikir dan kebiasaan yang terbentuk seiring waktu. Kabar baiknya, kecenderungan ini dapat diatasi dengan beberapa langkah sederhana mulai dari menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, menetapkan batasan jadwal kerja yang sehat, serta melatih kemampuan untuk melepaskan diri dari pekerjaan sejenak saat waktu istirahat. 

Namun, jika Anda atau orang terdekat mengalami kesulitan mengubah pola kerja berlebihan ini, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. LPTUI menyediakan layanan konsultasi dengan psikolog berpengalaman yang siap membantu Anda membangun kebiasaan kerja yang lebih sehat. Hubungi kami melalui link pendaftaran atau nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan pendampingan lebih lanjut. 

Ditulis oleh: Khadijah Almuhdor

Referensi: 

Akinwale, O. E., Kuye, O. L., & Akinwale, O. E. (2024). Predictors of workaholism and quality of work-life among information technology (IT) professionals in Nigeria: a dynamite promoting brain-drain albatross. International Journal of Organizational Analysis32(9), 2067-2092. 

Malinowska, D., & Tokarz, A. (2014). The structure of workaholism and types of workaholic. Polish Psychological Bulletin. 

Marković, J. (2022). Work Motivation and Neurotic Perfectionism as Predictors of Workaholism. Društvene i humanističke studije7(4 (21)), 579-600. 

Russo, A., Mansouri, M., Santisi, G., & Zammitti, A. (2025). Psychological flexibility as a resource for preventing compulsive work and promoting well-being: a JD-R framework study. International Journal of Organizational Analysis33(12), 18-34. 

Anda bisa membagikan artikel berikut kepada yang lain:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0

Keranjang Kamu Kosong

Tidak ada produk di keranjang Anda.