Sudah tanggal 25, waktunya gajian. Horeeee! Eits, sebentar dulu. Waktunya bayar SPP sekolah dan les anak, beli obat rutin buat orang tua, dan belanja kebutuhan rumah. Tahu-tahu isi rekening menipis. Belum semua kebutuhan terpenuhi, jangan harap banyak sisa untuk kebutuhan diri sendiri. Akhir pekan waktunya istirahat? Hmm nanti dulu, masih perlu antar orang tua kontrol ke rumah sakit dan anak pergi les. Me-time? Kapan-kapan saja deh.
Beginilah pola berulang yang dialami oleh generasi sandwich. Tantangan unik yang mereka hadapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi kesehatan mental. Mari kita bahas lebih lanjut melalui artikel ini.
Pengertian Generasi Sandwich
Generasi sandwich merupakan sebutan untuk mereka yang memikul dua tanggung jawab pengasuhan untuk anak dan orang tua. Fenomena yang mendapatkan perhatian dalam dunia penelitian beberapa dekade terakhir ini.
Disebut sebagai sandwich karena bagian atas dianalogikan sebagai tanggungan untuk mengurus orang tua, bagian bawah diibaratkan sebagai tanggungan anak, sedangkan mereka ‘terhimpit’ di tengah seperti roti lapis.
Sederhananya, mereka harus menanggung beban ganda lantaran punya tanggung jawab menghidupi diri sendiri, orang tua, dan anaknya dalam waktu bersamaan.
Munculnya Generasi Sandwich
Generasi sandwich ini bukanlah merupakan fenomena yang asing, sebab menurut hasil survei DataIndonesia.id, hampir separuh Gen Z di Indonesia menjadi generasi sandwich.
Berbagai faktor turut berkontribusi terhadap munculnya generasi sandwich, mulai dari demografi, ekonomi, hingga budaya. Kemajuan di bidang medis, teknologi, dan sistem kesehatan telah meningkatkan harapan hidup, sehingga lebih banyak orang yang hidup berumur panjang hingga usia lanjut. Hal ini menyebabkan ketika generasi sandwich berada di usia produktif harus merawat orang tua mereka pada masa lanjut usia, bersamaan dengan membesarkan anak-anak mereka.
Kurangnya jaminan sistem kesehatan untuk perawatan jangka panjang membuat generasi sandwich sering kali harus menanggung biaya perawatan sendiri saat kondisi kesehatan orang tua mereka memburuk. Karena keterbatasan tenaga profesional, banyak anggota keluarga yang akhirnya harus merawat orang tua mereka secara langsung, yang tidak hanya menguras tenaga tetapi juga meningkatkan beban finansial.
Dari sisi ekonomi, kurangnya literasi keuangan menyebabkan orang tua tidak memiliki kemampuan untuk mengatur keuangan dan menyiapkan investasi masa depan sehingga tanggungannya dibebani kepada anak ditambah dengan adanya tanggung jawab moral untuk membantu secara lintas generasi.
Risiko yang Dialami Generasi Sandwich
Beban yang dirasakan generasi sandwich tidak hanya secara fisik ketika mereka harus siap siaga untuk merawat anak-anak sekaligus orang tua. Beban yang dirasakan generasi sandwich juga dapat melibatkan aspek emosional, karena mereka harus terus memberikan perhatian dan dukungan kepada kedua generasi tersebut.
Selain itu, tekanan mental juga muncul akibat perasaan bersalah atau stres ketika mereka merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan semua pihak secara seimbang. Tak heran jika berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada generasi sandwich lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Banyak penelitian juga menemukan bahwa generasi sandwich memiliki waktu yang terbatas untuk berolahraga dan menyiapkan makanan sehat. Kurang tidur juga menjadi masalah yang umum di kalangan generasi sandwich, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko munculnya berbagai penyakit. Hal ini wajar terjadi karena saat mereka terlalu fokus merawat orang lain, kesehatan dan kesejahteraan diri sendiri seringkali terabaikan.
Tips Menjaga Kesehatan Mental sebagai Generasi Sandwich
Menghadapi tekanan sebagai generasi sandwich bisa melelahkan secara emosional dan fisik. Berikut beberapa tips untuk menjaga kesehatan mental agar Anda tetap dapat maksimal dalam memberikan cinta kepada dua generasi:
1. Atur Perencanaan dan Tetapkan Prioritas
Buat daftar pekerjaan Anda, kebutuhan anak, dan kebutuhan orang tua. Pahami bahwa dengan waktu dan tenaga yang terbatas, tidak semua hal bisa diselesaikan sekaligus, sehingga penting untuk menetapkan skala prioritas. Jika ada hal yang bisa dialokasikan ke waktu lain, tidak perlu memaksakan untuk menyelesaikannya sekarang.
2. Komunikasi Terbuka dengan Keluarga
Jika Anda memiliki pasangan atau saudara, bicarakan tanggung jawab yang dapat ditanggung bersama agar tidak merasa terbebani sendiri. Diskusikan ekspektasi dengan orang tua dan anak untuk menghindari tekanan yang berlebihan. Hal ini menghindari adanya konflik di kemudian hari.
3. Manfaatkan Dukungan Sosial
Merasa kelelahan merupakan hal yang wajar, maka jangan ragu untuk meminta bantuan dari keluarga atau teman sebelum Anda merasa kewalahan. Selain itu, bergabung dengan komunitas atau support group yang memiliki pengalaman serupa juga dapat membantu Anda dalam bertukar informasi mengenai pengasuhan dua generasi dan mendapatkan dukungan emosional.
4. Jangan Ragu Mencari Bantuan Profesional
Jika berbagai upaya telah Anda lakukan dan masih merasa kewalahan, pertimbangkan untuk konsultasi dengan psikolog profesional. Terapi atau sesi konseling mungkin tidak akan menghilangkan beban tanggungan Anda, namun dapat membantu mengelola stres sehingga Anda mampu menjalankan berbagai peran dengan lebih baik.
LPTUI menyediakan berbagai layanan konseling dan terapi dengan psikolog profesional. Jika Anda mengetahui seseorang yang membutuhkan bantuan, segera hubungi kami melalui link pendaftaran atau hubungi nomor WhatsApp LPTUI Salemba atau LPTUI Depok untuk mendapatkan dukungan yang tepat.
—
Ditulis oleh: Khadijah Muhdor
Referensi: